TUGAS
ILMU SOSIAL DASAR
KONFLIK POSO
Disusun oleh
Nama : YASSIR
FATHURRAHMAN
NPM : 17315226
Fakultas Teknik Sipil
Dan Perencanaan
Universitas Gunadarma
2015
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Konflik Poso” dapat terselesaikan,sehingga
diharapkan dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Emilianshah Banowo selaku dosen mata kuliah Ilmu Sosial Dasar yang
telah memberi semangat dan arahan demi terselesaikannya karya tulis ini, kami
dari seluruh pihak yang turut memberikan inspirasi sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Harapan penulis,semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca sebagai pedoman bagi pelajar yang gemar membaca agar
semakin bertambah luas wawasan yang dimiliki,penulis juga menerima kritik dan
saran yang membangun untuk mengembangkan Isi dari karya tulis ini.
Depok,28 Oktober 2015
Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………...1
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang………………………………………………….3
1.2 Permasalahan…………………………………………………..4
Bab II Pembahasan
2.1 Sebab awal terjadinya Konflik Poso……..........................5
2.2 Dampak dari Konflik Poso ……….....................................8
2.3 Penyelesaian Kasus Tibo terhadap Konflik Pos.............10
2.4 Solusi Konflik Poso..........................................................13
Bab III Penutup
Kesimpulan………………………………………………………...14
Daftar Pustaka……………………………………………………..15
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Konflik di poso adalah salah satu
konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun
sudah beberapa resolusi, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso.
Berbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum
konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakang agama, namun
kalau kita meneliti lebih lanjut, maka kita akan menemukan berbagai kepentingan
golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang
terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso
tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami
Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa,
batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa
dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang
Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap
di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili.
Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja
Selatan yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di
Sulawesi Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan.
Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah
Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun
untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok
pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama,
Poso terbagi menjadi dua kelompok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum
pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran
menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen.
Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan,
terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan
terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi
salah satu pemantik seringnya terjadi berbagai kerusuhan yang terjadi di Poso.
Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang
berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan
kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadi kendaraan dan alasan tendesius
untuk kepentingan masing-masing dan Pada 20 Desember 2001 Keputusan Malino ditandatangani antara kedua belah pihak yang
bertikai dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla dan Susilo
Bambang Yudhoyono.
1.2 Permasalahan
Tahun
1997 indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi
dan politik yang tidak menentu, telah mengiring indonesia menuju konflik
nasional, baik secara struktural maupun horizontal. semenjak runtuhnya rezim
orde baru tahun 1998 yang di gantikan oleh oleh B.H habibie yang diharapakan
dapat menata sistem politik yang demokrasi berkeadilan.
Pada waktu itu indonesia
sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak konflik di berbagai
daerah, salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh banyak
kalangan adalah konflik bernuansa SARA. Impliksasi – implikasi kepentingan
politik elite nasional, elite lokal dan militer-militer juga diduga menyulut
terjadinya konflik horizontal sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih
tepat. Bahkan, terkesan pihak keamanan porli lamban menangani konflik tersebut.
Sehingga konflik terjadi belarut – larut yang memakan korban jiwa dan harta.Adapun
beberapa hal yang dapat dirumuskan dari konflik poso :
2.1 Apa sebab awal terjadinya konflik poso ?
2.2 Apa saja dampak yang ditimbulkan dari konflik poso ?
2.2 Apa saja dampak yang ditimbulkan dari konflik poso ?
2.3 Bagaimana penyelesaian kasus tibo
terhadap konflik poso ?
2.4 Bagaimana Solusi dari konflik poso ?
Bab ll
Pembahasan
2.1 Sebab awal terjadinya
Konflik Poso
Awal konflik
Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan
Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku.Untuk
seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang
terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar persona pun bisa
menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat
perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama Kristen.
Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima
diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan
masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang
melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum
meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik
lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas
keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi
akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso,
Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut
Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa
15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan madrasah di desa
Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini
mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan
melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil”
tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai
melebar apalagi berlarut-larut.
Memang,
setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun
seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat
keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso
kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal
kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama
setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni
2000. konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada
Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut
memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga
kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.
Namun pola
konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu, mengingat
intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap
memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan
yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya
bermula terjadi di Poso kota dan selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar
Poso. Wilayah Poso kota keberadaan komposisi agama relative berimbang
dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas
masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari luar
kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki kota
Poso berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan
bahkan dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi
masssa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang
pada kerusuhan pertama dan kedua.
Pola ketiga
adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik itu benda
tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak
mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan
denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan bahwa
pada kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh
berondongan senjata api.
Pola keempat
adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan pertama,
dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian
di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar
dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa
kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada
Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut
”tawuran”, sebab konflik hanya dipicu
oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan wilayah konflik sangat
terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas kelompok memang ada,
tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok lain.
Mulai
Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001 konflik
telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik,realitas pembunuhan
terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai
bagian lawan. Telah terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi
konflik berdasar isu agama dan etnisitas. sejak konflik ketiga pada Mei 2000
mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik
keempat dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Akar penyebab
konflik Poso sangat kompleks menyambung ke problema yang bersifat historis.
Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial
Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk
dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan
dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik,
terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Adapun argumen yang
mengemuka bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik sosial itu
adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso 1 berawal dari
:
a)
Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren
Darusalam pada bulan ramadhan.
b)
Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku – suku pendatang seperti bugis, jawa,
dan gorontalo, serta kaili pada kerusuhan ke III.
c)
Pemaksaan agama kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten
terutama di daerah tentena dusun III salena, sangira, toinase, Boe, dan meko
yang memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi
secara paksa yang mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD tentena.
d)
Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol – simbol perjuangan ke
agamaan kristiani pada kerusuhan ke III.
e) Pembakaran rumah – rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan
III. Pada kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar rumah penduduk antara
pihak kristen dan islam.
f)
Terjadi pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua
belah pihak, pembakaran rumah penduduk asli poso di lombogia, sayo, kasintuvu.
g)
Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku flores, toraja dan
manado.
h)
Adanya pelatihan militer kristen di desa kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan
sebelum meledak kerusuhan III.
Pendatang
Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan
perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu
membangun tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak
saja menandai terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam
komunitas keagamaan.
Fakta
pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada
konstelasi politik Poso.Politik komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam
dunia kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai
dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula
didominasi Kristen, secara alamiah terjadi peralihan tangan. Dalam situasi inilah
politik agama dalam konteks birokrasi kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan
masyarakat Poso. Perspektif komunitas keagamaan dalam konteks persaingan
politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian berbagai proyek pada
orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam mencermati konflik Poso.
Dari situ
tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat
kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping
kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula
kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para
laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang
memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.
2.2 Dampak dari Konflik Poso
Beberapa
dampak yang ditimbulkan dari konflik poso diantaranya : :
·
Dampak
dari konflik sosial yang terjadi di poso
kerusuhan yang terjadi di poso menimbulkan
dampak sosial yang cukup besar jika di liat dari kerugian yang di akibatkan
konflik tersebut. Selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis
tidak akan hilang dalam waktu singkat. Jika dilihat dari keseluruhan, kerusuhan
poso bukan suatu kerusuhan biasa, melainkan merupakan suatu tragedi kemanusiaan
sebagai buah hasil perang sipil.
Dampak kerusuhan poso dapat di bedakan dalam
beberapa segi :
1. Budaya dampak sosial yang terjadi adalah :
- di anut kembali budaya “pengayau” dari masyarakat pedalaman (suku pa-mona dan suku mori).
- Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai tujuan politiknya.
- Runtuhnya nilai – nilai kesepakatan bersama sintuwu maroso yang menjadi bingkai dalam hubungan sosial masyarakat poso yang pluralis.
- di anut kembali budaya “pengayau” dari masyarakat pedalaman (suku pa-mona dan suku mori).
- Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai tujuan politiknya.
- Runtuhnya nilai – nilai kesepakatan bersama sintuwu maroso yang menjadi bingkai dalam hubungan sosial masyarakat poso yang pluralis.
2. Hukum dampak sosial yang terjadi adalah :
- Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat poso ke dalam dua kelompok yaitu kelompok merah dan kelompok putih.
- Tidak dapat di pertahankan nilai- nilai kemanusiaan akibat terjdi kejahatan terhadap manusia seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak serta orang tua dan pelecehan seksual.
- Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hulum di masyarakat kabupaten poso.
- Munculnya perasaan dendam dari korban – korban kerusuhan terhadap pelaku.
3. Politik dampak sosial yang terjadi adalah :
- Terhentinya roda pemerintahan.
- Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah terhadap masyarakat.
- Hilangnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat masing – masing kelompok kepentingan.
- Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya.Ø
- Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat poso ke dalam dua kelompok yaitu kelompok merah dan kelompok putih.
- Tidak dapat di pertahankan nilai- nilai kemanusiaan akibat terjdi kejahatan terhadap manusia seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak serta orang tua dan pelecehan seksual.
- Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hulum di masyarakat kabupaten poso.
- Munculnya perasaan dendam dari korban – korban kerusuhan terhadap pelaku.
3. Politik dampak sosial yang terjadi adalah :
- Terhentinya roda pemerintahan.
- Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah terhadap masyarakat.
- Hilangnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat masing – masing kelompok kepentingan.
- Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya.Ø
4. Ekonomi dampak sosial yang terjadi adalah
:
- Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah, tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.
- Eksodus besar – besaran penduduk muslim poso.
- Terhentinya roda perekonomian.
- Rawan pangan.
- Munculnya pengangguran dan kelangkaan kesempatan kerja.
- Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah, tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.
- Eksodus besar – besaran penduduk muslim poso.
- Terhentinya roda perekonomian.
- Rawan pangan.
- Munculnya pengangguran dan kelangkaan kesempatan kerja.
2.3 Penyelesaian Kasus Tibo terhadap Konflik Poso
Kasus Tibo adalah sebuah kasus mengenai penyelesaian Kerusuhan
Poso.
Tibo sendiri merupakan salah satu terdakwa dari tiga terdakwa dalam kasus ini.
Tiga orang terdakwa dalam kasus ini adalah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva,
dan Marinus Riwu. Mereka ditangkap pada Juli dan Agustus 2000. Mereka dijatuhi
vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan kembali
dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan
memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan
perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko
Baru.
Kasus vonis mati mereka menimbulkan
banyak kontroversi sehingga menyebabkan rencana vonis mati mereka tertunda
beberapa kali. Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22
September
2006 di Palu.Kronologi peristiwa
Desa Jamur Jaya, Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah tempat tinggal Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Don Marinus Riwu berjarak sekitar 250 Km dari kota Poso. Sebelum kerusuhan Poso I (1998), Poso II (1999) dan Poso III (2000), Dusun Jamur Jaya dalam suasana aman. Masyarakat yang sebagian besar petani hidup dalam ketenteraman tanpa terusik sedikitpun dengan berbagai bentuk friksi sosial dan politik. Mereka hidup berdampingan dalam semangat kebersamaan dan toleransi. Ketenteraman penduduk Jamur Jaya baru mulai terusik ketika pada tanggal 15 Mei 2000 datang seorang tamu tak diundang yang mengaku berasal dari Poso bernama Yanis Simangunsong memprovokasi dengan mengabarkan berita bahwa Gereja Santa Theresia Poso dan Komplek Sekolah/Asrama akan dibakar serta anak-anak penghuni Asrama (85 orang berasal dari Desa Beteleme), pastor, para suster, dan para guru akan dibunuh. Informasi tersebut menggerakkan hati Tibo untuk menyelamatkan anak-anak sekolah di asrama tersebut (anak-anak yang berasal dari Beteleme, kampung Tibo) dan juga para suster, pastor dan guru yang tinggal di asrama St. Theresia Poso.Tibo Satuan Tugas TNI Cinta Damai di Desa Jamur Jaya, Beteleme, Kabupaten Morowali, pada akhir Juli 2000. Lima hari kemudian Dominggus da Silva (42 tahun) dan Marinus Riwu (48 tahun) menyerahkan diri di Polsek Bateleme.Permintaan terakhir ditolak
Kejari Palu menolak semua permintaan terakhir Tibo dkk. Empat permintaan terakhir Tibo cs:- Pertama, mereka meminta agar saat pelaksanaan eksekusi didampingi Roy, Pastor Jimmy, Direktur Padma Indonesia Pastor Nobert Bethan, dan Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata.
- Kedua, mereka meminta agar jenazah mereka disemayamkan di Gereja Katolik Santa Maria Palu, dan mengharapkan Uskup Manado Mgr Yosephus Suwatan bersedia memimpin Misa Requiem (misa mendoakan arwah).
- Ketiga, Tibo dan Marinus minta dikebumikan di Beteleme, Kabupaten Morowali, Sulteng, sedangkan Dominggus minta dikebumikan di Flores, Nusa Tenggara Timur.
- Keempat, Tibo dkk menolak semua fasilitas yang disediakan kejaksaan seusai eksekusi, seperti jas, sepatu, dan peti jenazah, serta transportasi mengantar jenazah ke persemayaman dan pemakaman.
Tibo
dkk telah meminta semua keperluan setelah eksekusi hingga ke pemakaman itu
disiapkan oleh pihak keluarga dan orang-orang yang peduli terhadap mereka.
Berdasarkan Pasal 15 Penetapan Presiden RI Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati, penguburan diserahkan kepada keluarga atau sahabat
terpidana.
Ada
juga tuntutan penangguhan eksekusi yang datang dari kalangan lintas agama. Lima
pemuka agama, yakni KH Abdurrahman Wahid, Julius
Kardinal Darmaatmadja,
Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, Bhikku Dharmawimala, dan Ws. Budi S. Tanuwibowo memohon kepada Presiden SBY untuk menunda
eksekusi terhadap Tibo, Riwu dan da Silva, dengan pertimbangan sebagai berikut.
- Pertama, alasan kemanusiaan, mengingat ketiga terpidana mati itu masih mempunyai hak menunggu untuk mengajukan grasi kembali selama dua tahun, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
- Kedua, untuk menjaga kerukunan di wilayah Poso dan sekitarnya.
- Ketiga, keputusan pemerintah yang terkesan tergesa-gesa akan menimbulkan pertanyaan besar, dan
- Keempat, demi terciptanya suasana adil dan damai di Poso dan Palu, ketiga terpidana mati itu sebaiknya dipindahkan ke tempat lain.
Menurut
Undang-undang Grasi Nomor 22 Tahun 2002, Tibo dkk masih mempunyai hak untuk
mengajukan grasi kedua. Dan, pada pasal 3 UU itu disebutkan bahwa permohonan
grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali
dalam hal putusan pidana mati.
Seruan dari dunia internasional
Pemerintah
Indonesia juga menerima keberatan maupun seruan anti-hukuman mati dari dunia
internasional, termasuk dari Tahta Suci Vatikan serta sejumlah
negara Eropa, terkait dengan rencana pelaksanaan hukuman mati pada Sabtu 12
Agustus 2006 dinihari bagi Tibo cs. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengaku
menerima keberatan-keberatan, seruan-seruan, tidak hanya dari pemerintah atau
Tahta Suci atau organisasi internasional, tapi juga pribadi-pribadi.
2.4 Solusi dari Konflik
Poso
1. kalangan pengusaha,budayawan,anggota
masyarakat,tingkat mahasiswa harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi
di Poso dengan melakukan tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya
terfokus pada masalah politik.
2. Jangan hanya bergantung pada aparat
keamanan. Tetapi Seluruh kalangan itu harus bekerja sama agar kerusuhan di Poso
segera berakhir, termasuk antara ulama dengan umaro juga harus bersatu.
3. Tindakan represif yang dilakukan oleh
aparat tidak menyalahi aturan, meskipun upaya penegakan hukum telah menimbulkan
korban jiwa dari warga sipil serta anggota Polri , karena memang kejadian itu
sulit dihindari. kerusuhan yang menimpa di Poso merupakan rekayasa dan berasal
dari luar Poso yakni dari pihak asing. Ia mengingatkan, kelompok sipil
bersenjata yang berada di tengah-tengah masyarakat Poso perlu mendapat
perlakukan khusus, karena dalam keadaan seperti ini, masyarakat akan menjadi
tameng bagi mereka.
4. semua kepentingan sepihak dan
sepotong-potong yang menghimpitnya selain kepentingan bersama harus dihilangkan
terlebih dahulu.
5. Pencegahan sedini mungkin tindakan
provokasi dan intimidasi diantara masyarakat harus diutamakan. Terutama,
perlunya kewaspadaan terhadap gerak-gerik seseorang atau sekelompok orang yang
berusaha bermain api dalam sekam. Barulah kemudian upaya penegakkan hukum harus
benar-benar dilaksanakan. Harapan kita masyarakat Poso akan kembali dapat hidup
dengan tenang dan damai.
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan mengenai konflik
sosial yang terjadi di poso adalah berawal dari konflik individu yang dalam
masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama
lain. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya
dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama. Belum lagi kurang adanya keadilan
dimana ada sebagian masyarakat yang merasa di diskriminasi dan juga politik
dimana penguasaan struktur pemerintahan oleh satu pihak dalam arti tidak ada
keseimbangan jabatan dalam pemerintahan. Serta masalah tentang karena adanya
kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asli poso dan
kaum pendatang seperti bugis, jawa, gorontalo, dan kaili.
Konflik sosial yang terjadi di poso ini sangat
berdampak pada masyarakat khususnya masyarakat poso itu sendiri, Mulai dari
segi Budaya, Hukum, Politik, Ekonomi, selain kehilangan nyawa dan harta benda,
secara psikologis juga bendampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan
itu.
Saran/kritik
Saran/kritik
semoga
makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai konflik sosial yang terjadi di
poso, Yang merupakan salah salah satu tragedi nasional.Penulis juga berharap
agar dalam penyelesaian masalah konflik sosial di poso ada kerja sama dari
semua pihak tanpa ada rasa memihak satu kelompok.
Daftar pustaka